Assalamualaikum wbth kepada saudara seagama dan laknat Allah ke atas iblis dan pengikutnya
(Updated 12 Disember 2019)
Berikut adalah sebahagian artikel yang saya ambil dari buku Ensiklopedia Bid’ah Kumpulan Fatwa:
Syaikh Abdul Aziz bin Baz
Lajnah Daimah Lil Buhuts al-Ilmiyah wal Ifta’
Syaikh Muhamad bin Shalih al-Utsaimin
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan
Buku ini telah ditulis oleh Hammud bin Abdullah al-Mathar.
Buku ini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Darul Haq.
Memandangkan buku tidak di jual di Malaysia, saya dengan ini memohon maaf kepada pihak penerbit buku ini kerana menyiarkan sebahagian dari kandungan buku tersebut. Semoga dengan kelemahan dan kesilapan saya ini menjadi rahmat kepada pihak penerbit iaitu Darul Haq Jakarta. Sekiranya pihak Darul Haq tidak redha dengan tindakan saya ini, emaillah saya di emjayjb@gmail.com dan saya akan akur dengan mengeluarkan artikel berikut dari Laman Emjay.
Saya yang sekadar memanjangkan usaha baik Darul Haq.
Emjay
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Berkumpul Di Kediaman Keluarga Si Mati Untuk Membacakan Al-Quran Serta Membagi-Bagikan Kurma Dan Daging
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin mengatakan;
Berkumpul di kediaman keluarga mayat (si mati) untuk membacakan Al-Quran serta membagi-bagikan kurma dan daging termasuk perbuatan-perbuatan bidaah yang harus dihindari. Dalam hal ini mungkin terjadi ratapan, tangisan, kesedihan dan mengenang si mati sehingga musibah tersebut tetap membara di hati keluarganya dan tidak berkesudahan.
Saya sarankan kepada mereka yang melakukan perbuatan semacam ini agar bertaubat kepada Allah SWT dan kembali menempuh jejak langkah para pendahulu umat yang soleh tatkala tertimpa musibah, iaitu bila seseorang tertimpa musibah mengucapkan,
(Sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan sesungguhnya kepadaNya kami dikembalikan. Ya Allah, berilah aku ganjaran pahala karena musibahku ini dan berilah aku yang lebih baik dari musibah ini).
Jika ia melakukan ini, nescaya Allah akan memberinya ganjaran pahala karena musibah yang menimpanya itu dan memberikan ganti baginya yang lebih baik.
Kemudian, hendaklah mereka mengingat kembali kisah Ummu Salamah ketika ditinggal mati oleh suaminya, Abu Salamah ra, yang mana pada saat itu ia mengucapkan,
Sementara dalam hatinya ia menyoal, "Siapa gerangan yang lebih baik dari Abu Salamah?". Ternyata, setelah habis masa idah‑nya, Rasulullah melamarnya lalu menikahinya. Beliau itulah yang lebih baik dari Abu Salamah.
Sementara dalam hatinya ia menyoal, "Siapa gerangan yang lebih baik dari Abu Salamah?". Ternyata, setelah habis masa idah‑nya, Rasulullah melamarnya lalu menikahinya. Beliau itulah yang lebih baik dari Abu Salamah.
Yang seharusnya dilakukan oleh orang yang tertimpa musibah adalah tidak menunggu orang-orang yang datang untuk takziah, karena hal ini tidak termasuk tuntunan para sahabat akan tetapi hendaklah kembali kepada pekerjaannya atau belajarnya atau perdagangannya atau kegiatan produksinya atau pekerjaan apa saja yang mampu dilakukannya di dunia ini agar boleh segera melupakan musibah tersebut. Adapun hak mayat terhadap kita adalah kita mendoakannya dengan memohonkan ampunan dan rahmat baginya kepada Allah SAW."
Berkumpul Di Kuburan Dan Membaca AI-Qur'an
Pertanyaan: Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ditanya tentang hukum berkumpul di kuburan dan membaca al-Quran. Apakah bacaan tersebut bermanfaat bagi si mati atau tidak?
Jawapan: Perbuatan ini termasuk perbuatan mungkar yang tidak dikenal pada masa para salaf soleh iaitu berkumpul di kuburan dan membaca al-Quran.
Tentang bermanfaatnya bagi si mati, kami katakan; Jika yang dimaksudkan adalah bahawa mayat tersebut mendapat manfaat dengan mendengarkan bacaan tersebut, maka hal ini tidak mungkin, karena ia telah meninggal, dan telah diriwayatkan dari Nabi SAW bahawa beliau. bersabda,
"Jika seorang hamba meninggal, maka terputuslah semua amalnya kecuali dari tiga hal; sedekah jariah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak soleh yang mendoakannya."
Ini ertinya, bahawa mayat itu tidak mendapat manfaat dari bacaan tersebut dalam keadaan ini, sebab, jika memang ia mengambil manfaatnya, tentu tidak dinyatakan "terputus amalnya," sedangkan hadis tadi menyebutkan tentang batasan amal yang masih boleh bermanfaat bagi mayat, iaitu hanya tiga saja sebagaimana yang disebutkan dalam hadis tersebut.
Adapun bila yang dimaksud adalah bahawa mayat tersebut mengambil manfaat dengan pahala yang diperoleh oleh yang membaca al-Quran itu, yakni bahawa si pembaca itu meniatkan agar pahalanya dihadiahkan kepada. mayat tersebut, pastinya bahawa perbuatan seperti ini termasuk perbuatan bidaah, maka perbuatan bidaah itu tidak ada pahalanya, sebab "Setiap bidaah adalah kesesatan." Demikian disabdakan oleh Nabi SAW. jadi, tidak mungkin kesesatan itu berubah menjadi tuntunan. Kemudian dari itu, biasanya bacaan itu disertai dengan upah, padahal upah untuk amal-amal yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah adalah batil. Orang yang mengupah untuk mengerjakan amal soleh, jika ia meniatkan dengan amal solehnya itu – yakni jenisnya termasuk amal soleh, namun kategorinya tidak termasuk soleh, insya Allah akan dijelaskan nanti - jika ia meniatkan dengan amal solehnya itu untuk mendapatkan pahala di dunia, maka amalnya itu tidak berguna baginya dan tidak mendekatkannya kepada Allah dan tidak mendapat pahala, hal ini berdasarkan firman Allah SWT;
"Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, nescaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan." (Hud: 15-16).
Maka orang yang membaca al-Quran dengan niat memperolah balasan duniawi, menurut kami, bahawa bacaan itu tidak diterima, bahkan sia-sia, tidak berpahala dan tentunya saat itu mayat tidak mendapatkan manfaat pahala yang dihadiahkan kepadanya karena bacaan tersebut tidak berpahala. Jadi, praktik ini hanya mensia‑ siakan harta, buang-buang waktu dan keluar dari jalan Salafus soleh ra, lebih-lebih jika harta yang digunakan itu berasal dari peninggalan si mayat, bererti telah mengurangi hak para ahli warisnya yang masih kecil dan belum dewasa, iaitu mengambil sebahagian harta mereka dengan cara yang tidak benar, sehingga dengan begitu bertambah lagi dosanya. Hanya Allah lah tempat memohon pertolongan.
Berkumpul Untuk Takziyah (Turut Berduka Cita)
Pertanyaan: Bolehkah berkumpulnya keluarga mayat di suatu rumah untuk berduka cita dan untuk membuat sebagian mereka sabar?
Jawaban: Berkumpul di rumah mayat tidak ada dasarnya dari perbuatan salafus soleh dan tidak disyariatkan, lebih-lebih bila hal itu disertai dengan manyalakan lampu-lampu penerangan dan menyusun kerusi-kerusi serta menampakkan rumah tersebut seolah-olah malam pengantin. Ini termasuk perbuatan bidaah, yang mana Nabi SAW telah bersabda, "Setiap bidaah adalah kesesatan."
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin juga mengatakan,
"Berkumpul di rumah keluarga mayat untuk turut berduka cita adalah perbuatan bidaah, tidak pernah dilakukan pada masa Rasul SAW dan tidak pula para sahabatnya, bahkan pintu-pintu mereka tertutup, yakni pintu-pintu keluarga mayat. Tapi bila menjumpai mereka (keluarga si mayat) di pasar, di masjid atau lainnya, mereka mengucapkan ungkapan turut berduka cita, karena maksud takziyah bukan untuk mengucapkan selamat, tapi maksudnya adalah untuk menguatkan seseorang agar bersabar. Karena itulah, Nabi SAW mengutus kembali utusan yang diutus oleh puterinya untuk memberi tahu beliau perihal anaknya yang hampir meninggal, beliau mengutus kembali utusan tersebut dengan mengatakan,
Saat itu, beliau tidak berangkat untuk takziah, sampai puteri beliau mengutus kembali utusan tersebut dan memohon agar beliau datang, bukan untuk takziah, tapi sekadar datang kepada anaknya yang sedang sekarat (nazak). Pada masa sahabat tidak dikenal kumpulan di keluarga mayat untuk berduka cita, bahkan mereka menganggap bahawa membuat makanan di keluarga mayat dan berkumpul di rumah tersebut termasuk "meratap", padahal meratap termasuk perbuatan berdosa besar, karena Nabi SAW melaknat orang yang meratap dan yang mendengarkan ratapan dengan seksama (kedua-dua meratap dan mendengar mendapat dosa yang sama), sebagaimana sabda beliau,
"Wanita peratap (kematian), bila ia tidak bertaubat, maka pada hari kiamat akan diberdirikan dan di atasnya dikenakan penutup dari besi panas dan baju koreng." Na'udzu billah.Karena itu, kami nasihatkan kepada saudara-saudara kaum Muslimin sekalian agar menghindari perkumpulan-perkumpulan yang tidak baik itu bahkan itu buruk bagi mereka.
Berkumpul Untuk Berduka Cita Dan Membacakan Al‑Fatihah untuk mayat
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin mengatakan:
Mengucapkan belasungkawa untuk setiap musibah, iaitu disampaikan kepada yang tertimpa musibah, tidak hanya kepada kerabat sahaja sebab adakalanya seseorang merasa tertimpa musibah dengan kematian sahabatnya dan terasa lebih berat daripada kematian kerabatnya. Adakalanya kerabat seseorang meninggal tapi ia tidak merasa tertimpa musibah dan kurang memperdulikan, bahkan mungkin merasa senang karena kematiannya jika ada problem di antara. mereka. Jadi pada dasarnya ungkapan belasungkawa itu adalah kepada orang yang merasa tertimpa musibah, yakni untuk menguatkannya agar tabah dan sabar. Ungkapan terbaik dalam hal ini adalah yang disampaikan oleh Nabi SAW yang mana beliau mengutus seorang utusan kepada salah seorang puterinya untuk mengucapkan,
"Milik Allah-lah segala yang diambil-Nya dan milik-NYa pula semua yang diberikan-Nya. Dan segala sesuatu itu ada batas waktu di sisi-Nya. Hendaklah ia bersabar dan mengharap pahala"
Mengupah Pembaca Al-Quran Untuk Membacakan AI-Qur'an Bagi Ruh Mayat
Pertanyaan: Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ditanya tentang hukum mengupah qari' untuk membacakan al-Quran bagi roh mayat?
Jawapan: Ini termasuk bidaah dan tidak ada pahalanya, baik bagi pembacanya mahupun bagi si mayat, karena pembaca tersebut membaca al-Quran untuk tujuan duniawi dan harta saja, padahal setiap amal soleh yang dimaksudkan untuk tujuan dunia tidak dapat mendekatkan diri kepada Allah dan tidak ada pahalanya di sisi Allah. Kerana itu, maka perbuatan ini iaitu mengupah qari’ untuk membacakan Al-Quran bagi roh si mati adalah perbuatan sia-sia, hanya membazirkan harta warisan. Maka dengan itu, hendaknya berwaspadalah kerana ini adalah perbuatan bidaah yang harus diingkari.
Mengadakan Pesta (kenduri) Untuk Mayat
Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan;
Sama sekali tidak ada riwayat dari Nabi SAW tidak dari Para sahabat ra dan tidak pula dari para salafus soleh tentang penyelenggaraan pesta (kenduri) untuk mayat, baik ketika meninggalnya, seminggu setelahnya, empat puluh hari setelahnya ataupun setahun setelahnya, bahkan ini merupakan bidaah dan kebiasaan buruk yang dahulunya dilakukan oleh orang-orang Mesir purbakala dan kaum kafir lainnya. Karena itu, perlu dinasihatkan kepada kaum Muslimin yang menyelenggarakan pesta-pesta tersebut dan mengingkarinya, mudah-mudahan mereka mahu bertaubat kepada Allah dan menjauhinya karena perbuatan ini merupakan bidaah, iaitu mengada-ada dalam perkara agama dan menyerupai (tasyabbuh) kaum kafir. Telah diriwayatkan secara pasti dari Nabi SAW bahawa beliau bersabda,
“Aku diutus dengan pedang menjelang kiamat sehingga hanya Allah yang disembah, tiada sekutu bagi-Nya. Rezeki dijadikan di bawah bayangan tombakku. Kehinaan dan kekerdilan dijadikan pada orang yang menyelisihi (menolak) perintahku. Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka” (Diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnadnya dari Ibnu Umar)
Diriwayatkan pula oleh Al Hakim dari Ibnu Abbas ra bahawa Nabi SAW bersabda:
“Sungguh kalian akan menempuhi kebiasaan-kebiasaan orang-orang sebelum kamu se jengkal demi se jengkal dan se hasta demi se hasta, sehinggakan seandainya salah seorang mereka memasuki lubang biawak padang pasir pun nescaya kalian pun akan memasukinya” (Asalnya terdapat dalam ash-Shahihain dari hadis Abu Sa’d ra)
Menyelenggarakan Selamatan (kenduri doa selamat), Ruatan (tolak bala), Arwahan (kenduri arwah), Tahlilan.,. Pent)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin mengatakan:
Semua bentuk selamatan (kenduri doa selamat) adalah bidaah, baik itu tiga hari, seminggu atau empat puluh hari, karena semua itu tidak pernah dicontohkan oleh para Salaf soleh ra. Seandainya itu baik, tentu mereka sudah lebih dahulu melakukannya. Lain dari itu, perbuatan ini bererti menyia-nyiakan / membazirkan harta dan membuang-buang waktu bahkan mungkin sekali terjadi berbagai kemungkaran berupa tangisan dan ratapan yang termasuk dalam perbuatan terlaknat, karena sesungguhnva Nabi SAW telah melaknat orang yang meratap serta orang yang mendengarnya.
Kemudian dari itu, jika acara tersebut diambil perbelanjaannya dari harta si mayat - maksudnya dari yang sepertiganya - maka ini bererti tindakan kriminal terhadap si mayat, karena hartanya dibelanjakan atas namanya dalam hal yang bukan ketaatan kepada Allah SWT. Jika diambil dari harta para waris, jika di antara para ahli warisnya terdapat anak-anak kecil atau yang belum dewasa, yakni yang belum mampu mengelola harta, bererti tindakan tadi merupakan tindakan kriminal terhadap mereka, karena sebenarnya para pelaksana itu dipercaya untuk mengelola harta mereka, maka hendaknya tidak menggunakannya kecuali untuk hal-hal yang bermanfaat bagi mereka (para ahli waris yang berhak). Jika harta itu milik orang-orang berakal yang sudah dewasa, ini juga bererti suatu kebodohan, karena menggunakan harta dalam hal yang tidak mendekatkan diri kepada Allah atau dalam hal yang tidak berguna dalam urusan dunianya, termasuk perbuatan bodoh, dan penggunaan harta yang seperti itu dianggap menyia-nyiakan, padahal Nabi SAW telah melarang menyia-nyiakan harta. Hanya Allah-lah yang kuasa memberi petunjuk.
(Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Fadhilah asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin , 2/305).
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan pula mengatakan:
"Tidak termasuk syariat menyelenggarakan selamatan, bahkan ini termasuk yang dilarang Allah karena mengandungi keluhan dan ratapan serta bidaah yang tidak ada dasarnya dalam syariat. Adapun yang disyariatkan dalam rangka turut belasungkawa adalah; apabila berjumpa dengan orang yang tertimpa musibah (karena kematian) adalah mendoakannya dan mendoakan untuk mayat, misalnya dengan mengucapkan,
(Semoga Allah membaikkan kesabaranmu dan meneguhkan pada musibahmu, dan Semoga Allah mengampuni mayatmu). Yang demikian itu adalah apabila yang meninggal itu seorang Muslim. Begitulah cara mengucapkan belasungkawa yang disyariatkan, iaitu mengandungi doa bagi yang masih hidup yang tertimpa musibah dan juga doa bagi mayat yang Muslim. Tidak mengapa pula, bahkan dianjurkan untuk membuatkan makanan dan dihadiahkan kepada keluarga si mayat jika mereka disibukkan (oleh kesedihan dll) sehingga tidak boleh membuat dan menyiapkan makanan karena adanya musibah tersebut. Dalam hal ini, selayaknya para tetangga mereka atau yang mengetahui keadaan mereka hendaknya membuatkan makanan bagi mereka lalu menghadiahkannya kepada mereka. Adapun menyelenggarakan selamatan (kenduri) dan upacara-upacara lainnya dengan mengundang orang-orang dan para pembaca al-Quran serta memasak makanan, semua ini tidak ada dasarnya dalam agama Islam.
(Al Muntaqa min Fatawa Fadhilah Asy-Syaikh Shalil bin Fauzan al-Fauzan, 1/77)
Mengkhususkan Dua Hari Raya Dan Hari Jumaat Untuk Ziarah Kubur
Pertanyaan: Apa hukum mengkhususkan dua hari raya dan hari Jumaat untuk ziarah kubur? Dan apakah ziarah itu boleh untuk orang-orang yang masih hidup atau hanya untuk yang telah meninggal?
Jawapan: Ini tidak ada dasarnya. Mengkhususkan ziarah kubur pada hari Idul Fitri dan meyakininya bahawa hal itu disyariatkan, di anggap sebagai perbuatan bidaah, karena hal ini tidak bersumber dari Nabi dan tidak diketahui dari seorang ahli ilmu pun yang berpendapat begitu. Adapun hari Jumaat, beberapa ulama menyebutkan, bahawa sebaiknya ziarah itu pada hari Jumaat, namun para ulama itu tidak menyebutkan atsar yang bersumber dari Rasulullah SAW mengenai hal ini.
(Syaikh Ibnu Utsaimin)
Pertanyaan: Di desa kami, pada malam Idul Fitri atau Idul Adha, ketika orang-orang sudah tahu bahawa besok hari raya, mereka pergi ke kuburan pada malam tersebut dan menyalakan lilin (atau pelita) di kuburan-kuburan kerabat mereka dengan mengundang tokoh-tokoh untuk membacakan al-Quran di situ. Apakah perbuatan ini dibenarkan?
Jawapan: Perbuatan ini batil dan haram serta menjadi penyebab laknat Allah SWT karena Nabi SAW telah melaknat para wanita penziarah kubur dan orang-orang yang mendirikan masjid di atas kuburan dan menempatkan lentera (lampu). Kemudian tentang pergi ke kuburan pada malam raya walaupun bertujuan untuk menziarahinya, tapi ini merupakan perbuatan bidaah, karena tidak pernah ada contoh dari Nabi SAW bahawa beliau mengkhususkan malam hari raya ataupun hari rayanya untuk menziarahi kuburan, sementara telah diriwayatkan secara pasti dari Nabi SAW, bahawa beliau bersabda,
"Hendaklah kalian menjauhi hal-hal baru yang diada-adakan, karena setiap hal baru yang diada-adakan adalah bidaah dan setiap bidaah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka."
Dari itu, hendaknya seseorang berhati-hati di dalam ibadahnya dan setiap apa saja yang dilakukannya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, hendaknya ia berusaha bersungguh-sungguh untuk mengamalkan syariat Allah SWT dalam hal itu, karena asal semua ibadah itu terlarang dan dicegah kecuali ada dalil yang mensyariatkannya. Adapun tentang menerangi kuburan pada malam hari raya, sebagaimana ditanyakan oleh penanya, ada dalil yang melarangnya dan menyebutkan bahawa perbuatan ini termasuk dosa besar sebagaimana yang telah disebutkan tadi yang berasal dari Nabi SAW, bahawa beliau melaknat para wanita penziarah kubur dan orang-orang yang mendirikan masjid di atas kuburan dan menempatkan lentera-lentera (lampu) di atasnya.
(Fatawa Islamiyah, 2/57, Syaikh Ibnu Utsaimin)
Membagi-Bagikan Sedekah Di Kuburan
Pertanyaan: Apakah boleh membagi-bagikan wang di kuburan karena tradisi yang berlaku di sebagian masyarakat seperti itu?
Jawapan: Bersedekah atas nama orang yang telah meninggal memang disyariatkan, tapi Nabi SAW tidak pernah membagi-bagikan sedekah di kuburan setelah selesai menguburkan mayat atau sebelumnya atau di waktu lainnya, padahal saat itu seringkali beliau menghantar jenazah dan berziarah kubur, begitu pula para sahabat.
Karena itu, membagi-bagikan sedekah di kuburan adalah bidaah karena bertentangan dengan tuntunan Rasulullah SAW.
Hanya Allah-lah yang kuasa memberi petunjuk. Selawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad SAW, kepada keluarga dan para sahabatnya.
(Al Lajnah ad-Da’imah lil Bukuts al-Ilmiyyah wal Ifta’, pertanyaan keempat dari fatwa no 4990)
Mentalqin Mayat
Pertanyaan: Di kota kami ada suatu kebiasan aneh, iaitu, ketika orang-orang menguburkan mayat, setelah selesai penguburan-nya, seorang laki-laki berdiri dan berkata, "Wahai fulan, bila engkau ditanya, `Siapa Rabbmu?' maka katakanlah, 'Rabbku Allah.' Bila engkau ditanya, 'Apa agamamu?' maka katakanlah, 'Agamaku Islam.' Dan bila engkau ditanya, `Siapa nabimu?' maka katakanlah, 'Muhammad SAW."' Apakah kebiasaan ini ada dasarnya dalam agama Allah SWT Kami mohon fatwanya. Terima kasih, semoga anda mendapat balasan pahala.
Jawapan: Ini yang disebut dengan istilah talqin, dan tentang talqin ini ada satu hadis yang tidak sahih dari Nabi SAW maka tidak boleh dilakukan dan wajib diingkari, karena yang demikian adalah bidaah. Adapun yang diriwayatkan secara sahih dari Nabi SAW adalah, apabila telah selesai menguburkan mayat, beliau berdiri di sisi kuburan, begitu pula para sahabat beliau, lalu beliau bersabda,
"Mohonkanlah ampunan bagi saudara kalian ini dan mohonkanlah keteguhan kepada Allah baginya karena sekarang ia sedang ditanya."
Jadi, mayat tersebut tidak diseru dan tidak pula ditalqinkan sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang jahil itu. Wallahu a'lam.
(Al Muntaqa min Fatawa asy-Syaikh Shalih Fauzan al- Fauzan.)
Mengundang Orang-Orang Untuk Membaca Al-Quran Untuk Memperoleh Manfaat Bagi Semuanya Atau Menghadiahkan Pahalanya Kepada Orang Yang Telah Meninggal
Pertanyaan: Apa hukum syariat menurut Syaikh tentang mengumpulkan sejumlah orang untuk membaca Kitabullah (Al Quran) dengan maksud agar manfaat dzikirnya (pembacaannya) menjadi milik undangan atau seseorang yang telah meninggal dunia?
Jawapan: Membaca al-Quran termasuk ibadah yang paling utama untuk mendekatkan diri kepada Allah dan Allah telah memerintahkan kita untuk membaca Kitab-Nya, menghayati dan memikirkan makna-maknanya. Adapun menetapkan format atau aturan tertentu untuk membacanya, maka hal ini perlu berdasarkan dalil. Seperti yang disebutkan penanya (penyoal), iaitu mengumpulkan sejumlah orang untuk membaca al-Quran agar pahalanya menjadi milik mereka atau dihadiahkan kepada orang-orang yang telah meninggal, maka hal ini tidak ada dalilnya, bahkan ini merupakan perbuatan bidaah, sedangkan setiap bidaah adalah sesat. Demikian dilihat dari satu sisi, sementara apabila dilihat dari sisi lainnya, bahawa para pembaca al‑Quran itu, bila mereka membacanya dengan diupah, sebagaimana yang terjadi di sebagian masyarakat, maka bacaan mereka itu tidak berpahala, karena mereka membaca al-Quran bukan sebagai ibadah karena Allah akan tetapi demi mendapatkan upah, sementara, bila ibadah dilakukan demi mendapatkan upah, maka ibadah itu tidak berpahala, karena yang diinginkan dari perbuatannya itu adalah keuntungan material maka perbuatan ini mengugurkan amalnya. Bacaan al-Quran yang bermanfaat adalah bila dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, hal ini bermanfaat bagi pembaca dan pendengarnya bila sesuai dengan yang disyariatkan, bukan seperti format - atau aturan yang diada-adakan oleh kaum jahil (orang-orang awam). Bacaan yang diada-adakan (format dan aturannya) dan menghadiahkan pahalanya kepada orang yang telah meninggal atau yang masih hidup adalah perbuatan bidaah dan tidak berpahala.
Maka seharusnya setiap Muslim meninggalkan perbuatan semacam itu, dan bila dia ingin memberi hal yang bermanfaat bagi orang-orang yang telah meninggal, maka hendaklah melakukan seperti yang telah dicontohkan berdasarkan dalil-dalil yang ada, iaitu dengan memohonkan rahmat dan ampunan bagi mereka, bersedekah atas nama mereka, atau mengerjakan haji atau umrah atas nama orang yang telah meninggal. Semua ini ada dalilnya yang menunjukkan bahawa itu semua bermanfaat bagi kaum Muslimin baik yang masih hidup mahupun yang telah meninggal. Adapun melakukan sesuatu perbuatan yang tidak ada dalilnya dari syariat maka dianggap bidaah dan menyimpang.
Berdoa Bersama-Sama Di Kuburan Dan Meng-Amin-Kannya
Pertanyaan: Apa hukum doa bersama-sama di kuburan, iaitu seseorang memimpin doa, sedangkan yang lain mengaminkannya?
Jawapan: Ini bukan sunnah Rasulullah SAW dan bukan pula sunnah para khalifah ar-Rasyidun. Rasulullah SAW hanya menyarankan kepada mereka agar memohonkan keampunan dan keteguhan iman bagi mayat, yang dilakukan secara sendiri-sendiri, tidak secara berjemaah.
Mengundang Para Pengantar Jenazah Untuk Makan Di Rumah Mayat Atau Salah Seorang Kerabatnya
Pertanyaan: Ada kebiasaan di tempat kami, iaitu apabila mayat telah dikuburkan, orang terdekatnya menyampaikan undangan kepada orang-orang di kuburan bahawa ada makan malam atau makan siang di tempatnya. Ada juga salah seorang kerabatnya yang mengatakan, "Bacakanlah al-Fatihah" tepat setelah selesai penguburan, setelah itu mereka langsung membeli sapi (lembu) atau domba (kambing) kemudian menyembelihnya - dan membagi-bagikannya kepada orang-orang sesuai tradisi yang berlaku di antara mereka. Jika mereka tidak melakukan itu, atau kerabat si mayat tidak melakukannya, maka orang-orang akan mengatakan bahawa mereka tidak menyukai si mayat... Apakah hal ini benar? Kami mohon penjelasan. jazakumullah khairan.
Jawapan: Perbuatan ini mengandung tiga perkara:
Pertama: Mengundang para pengantar jenazah untuk makan di rumah si mayat atau salah seorang kerabatnya.
Kedua: Minta dibacakan Al-Fatihah setelah penguburan.
Ketiga: Membeli sapi atau domba atau hewan lainnya yang biasa disembelih dan membagi-bagikannya.
Semua perbuatan ini adalah bidaah dan mungkar, sebab, sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad SAW sedang seburuk-buruknya perkara adalah hal-hal baru yang diada-adakan. Sebagaimana diketahui, bahawa tuntunan Nabi SAW tidak mencakup hal-hal seperti itu, bahkan para sahabat ra menganggap berkumpulnya orang-orang di keluarga si mayat dan membuat makanan termasuk meratap, sedangkan meratap telah diketahui hukumnya oleh setiap orang yang mengenal as-Sunnah, karena Nabi telah melaknat wanita yang meratap dan yang mendengarkan ratapannya dengan saksama, sebagaimana sabdanya,
"Wanita yang meratapi (kematian), bila ia tidak bertaubat, maka pada hari kiamat akan diberdirikan dan di atasnya dikenakan penutup dari besi panas dan baju koreng."
Maka yang harus dilakukan adalah tidak melakukan kemungkaran-kemungkaran tersebut dan tetap memelihara harta daripada membelanjakannya untuk perbuatan haram itu.
Tentang perbuatan kedua, iaitu minta dibacakan Al-Fatihah kepada yang hadir, juga merupakan perbuatan bidaah, karena Nabi bila telah selesai menguburkan mayat, tidak mengatakan kepada orang-orang yang hadir agar membacakan al-Fatihah atau ayat Al‑Quran lainnya, tapi yang beliau katakan setelah selesai menguburkan adalah:
"Mohonkanlah ampunan bagi saudara kalian dan mohonkanlah keteguhan kepada Allah baginya karena sekarang ia sedang ditanya."
(Ya Allah, ampunilah ia. Ya Allah, teguhkanlah ia)
Yang disyariatkan setelah penguburan adalah hendaknya orang-orang berdiri dan masing-masing mengucapkan doa. "Allahummaghfir lahu. Allahumma tsabbithu" (Ya Allah, ampunilah ia. Ya Allah, teguhkanlah ia) sebanyak tiga kali, setelah itu kembali pulang. Demikianlah, apabila Rasulullah berdoa selalu mengulanginya tiga. kali.
Adapun tentang perbuatan yang ketiga, iaitu membeli sapi atau domba atau haiwan lainnya yang biasa disembelih, lalu menyembelihnya dan membagi-bagikannya, juga merupakan perbuatan bidaah yang mungkar, tidak termasuk dalam tuntunan Nabi SAW, mahupun para sahabatnya ra. Di samping itu, perbuatan ini juga bererti menyia-nyiakan (membazirkan) harta, sementara Nabi SAW telah melarang menyia-nyiakan harta. Karena itu, maka perbuatan-perbuatan tersebut harus dicegah dan dijauhi. Adapun celaan orang-orang kepada keluarga si mayat bila mereka tidak melakukannya, iaitu ucapan mereka bahawa keluarga tersebut tidak menyukai mayat tersebut, maka hal ini adalah kebodohan mereka. Bahkan sebenarnya, orang yang menjauhi perbuatan-perbuatan ini adalah sebenarnya yang mencintai mayatnya, dialah yang mencintai apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya, dan dialah yang menjauhi bidaah yang disebut oleh Rasulullah SAW sebagai kesesatan. Karena itu saya nasihatkan kepada saudara-saudara kaum Muslimin sekalian, dalam urusan-urusan agama, hendaklah mereka kembali kepada yang dilakukan oleh para salaf yang soleh, karena dalam hal-hal orang-orang yang menyelisihi (menolak) syariat, maka. secara khusus para penuntut ilmu, dan secara umum setiap orang yang mengetahui hukumnya, hendaklah memperingatkan masyarakat dari perbuatan-perbuatan tersebut dan menjelaskan yang hak kepada mereka. Sebab, alhamdulilah, pada dasarnya manusia itu masih pada fitrahnva, karena itu, majoriti mereka bila diingatkan, akan sadar dan kembali kepada kebenaran dan meninggalkan penyimpangan.
(Fatawa Fadhilah asy-Syaikh Muhamamad bin Shalih al Utsaimin 1/21)
Peringatan Hari Keempat Puluh kematian
Pertanyaan: Apa asal peringatan hari keempat puluh? Adakah dalil yang menunjukkan pensyariatan pelaksanaannya?
Jawapan: Pertama: Asalnya adalah tradisi Fir'aun yang biasa dilakukan oleh para pengikut Fir'aun sebelum Islam datang, kemudian dari mereka menyebar kepada orang-orang selain mereka. Perbuatan ini adalah bidaah yang mungkar, tidak ada dasarnya dalam Islam. Perbuatan ini tertolak dengan sabda Nabi SAW;
"Barangsiapa yang mengada-adakan perkara baru dalam urusan (agama) kami ini yang bukan (bagian) darinya, maka hal itu tertolak."'
Kedua: Mengenang mayat yang dilakukan oleh para ahli warisnya dengan cara sebagaimana sedemikian rupa yang biasa dilakukan saat ini, iaitu berkumpul untuk hal tersebut dan berlebih-lebihan dalam memuji si mayat, adalah perbuatan yang tidak boleh dilakukan, berdasarkan yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah yang disahihkan oleh al-Hakim dari hadits Abdullah bin Abi Aufa, yang mana ia mengatakan, "Rasulullah SAW melarang mengenang kematian seseorang. Karena biasanya dalam menyebutkan sifat-sifat si mayat mengandung kebanggaan, memperbaharui duka dan membangkitkan kesedihan. Adapun sekadar memujinya ketika teringat kepadanya atau jenazahnya lewat atau untuk memperkenalkannya dengan menyebutkan perbuatan-perbuatan baiknya dan sejenisnya sebagaimana penyebutan kebaikan oleh sebagian sahabat tentang para syuhada Uhud dan lainnya, maka hal ini boleh, berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Anas bin Malik , bahawa ia berkata, "Orang-orang tengah menghantarkan jenazah dan mereka memuji kebaikan-kebaikannya," Ialu Nabi SAW , berkata, "Pasti." Kemudian ada lagi orang-orang yang menghantar jenazah lainnya yang mana mereka menyebutkan keburukannya, lalu Nabi SAW, berkata, "Pasti." Maka Umar ra bertanya, "Apa yang pasti?" beliau menjawab,
“Ini yang kalian puji kebaikan-kebaikannya, maka pasti baginya syurga, sedang ini yang kalian sebut-sebut dengan keburukan, maka pasti baginya neraka. Kalianlah para saksi Allah di bumi.”
(Fatawa Islamiyah, 2/56, al Lajnah ad-Daimah)
Peringatan Hari Ketiga Kematian
Pertanyaan: Dari mana asalnya peringatan kematian pada hari ketiga setelah dikuburkan?
Jawapan: Ini diada-adakan oleh orang-orang yang jahil terhadap Islam dan jahil terhadap kewajipan mereka kepada Islam, iaitu memelihara keotentikan (keaslian) prinsip-prinsip dasar dan cabangnya, dan mereka pun tidak mempunyai ghairah beragama yang lurus, bahkan dihinggapi oleh kecenderungan meniru orang-orang sesat. Ini adalah perbuatan bidaah yang diada-adakan dalam Islam, maka perbuatan ini tertolak secara syar'i berdasarkan sabda Nabi SAW
"Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak kami perintahkan, maka hal itu tertolak."
(Fatawa Islamiyyah li Majmu’ah minal Ulama al-Afadhil, 1/312, Syaikh Ibnu Baz)
Ziarah Kubur Untuk Berdoa, Solat Dan Membaca Al-Quran Di Dekatnya
Pertanyaan: Apa hukum agama Islam tentang ziarah kubur dan tawassul dengan kuburan (yang dianggap keramat), membawa haiwan dan wang untuk bertawassul dengannya, seperti menziarahi sayyid al-Badawi dan al-Husain serta sayyidah Zainab? Kami mohon penjelasannya. Semoga Allah menunjuki Syaikh.
Jawapan: Ziarah kubur ada dua macam:
Pertama: Disyariatkan dan perintahkan, iaitu untuk mendoakan orang-orang yang telah meninggal dan memohonkan rahmat bagi mereka serta untuk mengingat diri akan kematian agar segera mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat, hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW
"Ziarahilah kuburan, karena ziarah itu bisa mengingatkan kalian kepada akhirat."
Rasulullah sendiri berziarah kubur, demikian juga para sahabat ra. Ini khusus untuk kaum laki-laki, bukan untuk kaum wanita. Sebab, kaum wanita tidak disyariatkan berziarah kubur, bahkan wajib melarang mereka melakukannya, karena telah diriwayatkan dari Nabi bahawa beliau melaknat para wanita penziarah kubur, juga karena ziarah mereka bisa menimbulkan fitnah bagi mereka atau bagi orang lain di samping mereka kurang sabar dan mudah bersedih. Dan tidak disyariatkan pula bagi kaum wanita untuk menghantar jenazah ke perkuburan, berdasarkan riwayat dalam kitab ash-Shahih, dari Ummu 'Athiyah ra, bahawa ia berkata, "Kami (kaum wanita) dilarang ikut menghantarkan jenazah, namun beliau tidak menekankannya pada kami." Hal ini menunjukkan bahawa kaum wanita dilarang ikut menghantarkan jenazah ke perkuburan karena dikhuatirkan timbulnya fitnah terhadap mereka atau orang lain yang disebabkan ikut serta, dan karena mereka kurang sabar. Sedangkan asal makna larangan itu adalah pengharaman, berdasarkan firman Allah SAW
"Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah." (al-Hasyr: 7)
Adapun mensolatkan mayat, bagi kaum laki-laki dan kaum wanita adalah diperbolehkan, sebagaimana dijelaskan oleh hadis-hadis sahih dari Rasulullah dan para sahabat. Sedangkan ucapan Ummu 'Athiyah ra, "namun beliau tidak menekankannya pada kami." tidak menunjukkan bolehnya kaum wanita ikut menghantar jenazah, karena keluarnya larangan Nabi SAW sudah cukup menjadi larangan. Sedangkan ucapannya, "namun beliau tidak menekankannya pada kami." berdasarkan ijtihad dan dugaannya, sementara ijtihad itu tidak bisa menolak as-Sunnah.
Jenis kedua: Ziarah yang bidaah, iaitu ziarah kubur untuk berdoa dan memohon pertolongan kepada para penghuninya, atau menyembelih hewan atau bernazar untuk mereka. Ini adalah perbuatan mungkar dan syirik besar. Semoga. Allah menjauhkan kita dari perbuatan. ini. Kemudian tentang menziarahi kuburan untuk berdoa di dekatnya, solat dan membaca al-Quran, maka ini pun perbuatan bidaah, tidak disyariatkan dan termasuk sarana kesyirikan.
Dengan begitu, pada hakikatnya ziarah kubur itu ada tiga macam:
Pertama: Disyariatkan, iaitu menziarahinya untuk mendoakan para. penghuninya dan mengingat akhirat.
Kedua: Berziarah untuk membaca al-Quran, solat atau menyembelih haiwan di dekatnya. Ini adalah bidaah dan sarana kesyirikan.
Ketiga: Menziarahinya untuk menyembelih haiwan bagi penghuninya dan mendekatkan diri kepadanya, atau berdoa kepada si mayat selain kepada Allah atau meminta rezeki, bantuan atau pertolongan. Ini adalah perbuatan syirik besar. Semoga. Allah menjauhkan kita dari perbuatan ini.
Maka hendaknya kita berwaspada ziarah-ziarah yang diada-adakan itu. Tidak ada bezanya, apakah orang mati yang dipuja itu seorang nabi, orang soleh atau lainnya. Termasuk dalam hal ini adalah yang dilakukan oleh sebagian orang-orang jahil pada kuburan Nabi SAW, iaitu berdoa dan memohon pertolongan kepada beliau, atau pada kuburan al-Husain, al-Badawi, Syaikh Abdul Qadir al-jailani atau lainnya. Hanya Allah lah tempat meminta.
(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 4/344, Syaikh Ibnu Baz)
Membuat Bangunan Di Atas Kuburan
Al-Lajnah ad-Da'imah menyebutkan,
"Membuat bangunan di atas kuburan adalah bidaah yang mungkar, mengandungi sikap berlebihan dalam mengagungkan orang yang di kubur di dalamnya dan hal ini merupakan sarana menuju syirik. Karena itu, hendaknya para penguasa kaum Muslimin dan wakil-wakilnya menghilangkan bangunan-bangunan di atas kuburan dengan meratakannya sama dengan tanah untuk menghilangkan bidaah tersebut dan sebagai pencegahan terhadap perbuatan syirik.
Telah diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab sahihnya dari Abu al-Hayyaj Hayyan bin Hushain, bahawa ia mengatakan, "Ali ra berkata kepadaku, Ingatlah, bahawa aku akan mengutus mu untuk sesuatu yang Rasulullah SAW mengutus ku untuk hal tersebut, iaitu; “Jangan engkau biarkan gambar kecuali engkau menghapusnya dan tidak pula kuburan kecuali engkau meratakannya." (Muslim 969). Dan telah diriwayatkan pula secara pasti dari Nabi SAW, bahawa beliau melarang membuat bangunan di atas kuburan dan menemboknya serta duduk-duduk di atasnya." (Muslim 970)
Sekian untuk kali ini.
Wallahua'lam
Emjay
Sekian untuk kali ini.
Wallahua'lam
Emjay